Komnas Pengendalian Tembakau desak hidup normal tanpa manipulasi rokok

Sebanyak 1 dari 3 orang Indonesia telah menjadi perokok aktif
Komnas Pengendalian Tembakau desak hidup normal tanpa manipulasi rokok

Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebutkan jumlah perokok Indonesia saat ini masih sangat tinggi, yaitu 33 persen (ketiga tertinggi di dunia).

Data ini menunjukkan sebanyak 1 dari 3 orang Indonesia adalah perokok.

Sementara 63 persen pria di Indonesia adalah perokok, yang berarti 2 dari 3 pria Indonesia merokok.

Fakta di atas masih menjadi sorotan Komnas Pengendalian Tembakau (PT) pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati setiap tanggal 31 Mei.

Dalam keterangan resminya, pada Minggu, Komnas Pengendalian Tembakau juga menyebut jumlah perokok anak usia 10-18 tahun naik dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018), atau sudah hampir 1 dari 10 anak Indonesia merokok.

Menurut Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany, cara-cara manipulatif yang dilakukan industri rokok demi melanggengkan bisnis buruknya sangat berbahaya dan mengancam masa depan Indonesia.

"Terutama karena yang mereka target adalah anak-anak kita," kata dia dalam keterangan resmi pada Minggu.

Untuk itu, dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Komnas Pengendalian Tembakau menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia.

Pertama adalah menghentikan segala manipulasi industri rokok dengan memperketat aturan pengendalian tembakau.

Antara lain dengan menerapkan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok.

Komnas Pengendalian Tembakau juga menyarankan peningkatkan cukai rokok dan mengimplemetasikan simplifikasi tarif cukai demi mencegah keterjangkauan harga rokok di masyarakat.

Kedua, menutup setiap peluang yang memberi kesempatan kepada industri rokok untuk melakukan intervensi pada kebijakan.

Hal ini termasuk dengan tidak menempatkan industri rokok sebagai stakeholders dalam pengambilan kebijakan dan menghentikan dukungan terbuka kepada kegiatan-kegiatan semacam-CSR industri rokok.

Ketiga, menitikberatkan perhatian pembangunan kepada perlindungan dan pengembangan Sumber Daya Manusia, terutama pada sektor Kesehatan Publik dan Pendidikan, sehingga “SDM Unggul Indonesia” bukan sekadar semboyan kosong.

Terakhir, menerapkan terminologi “New Normal” versi pengendalian tembakau melalui kenormalan yang baru dalam hidup bangsa Indonesia.

Menurut Hasbullah, itu artinya new normal yang terbebas dari manipulasi industri rokok dan jebakan candu produknya yang mematikan.

“Kita adalah bangsa yang telah membuktikan memiliki rasa kasih sayang, tolong menolong, saling melindungi ketika menghadapi Bencana Nasional Pandemi Covid-19,” kata Hasbullah.

Sehingga, kata dia, fokus new normal saat ini adalah mengembalikan perlindungan masyarakat Indonesia dari sisi kesehatan publik dengan tidak membenturkan kepentingan rakyat dengan industri yang merusak.