PM Pakistan: Perubahan demografi Kashmir ancam perdamaian di Asia Selatan

Imran Khan mengatakan dia menghubungi sekretaris jenderal PBB untuk menentang pemberian sertifikat domisili Kashmir kepada orang India
PM Pakistan: Perubahan demografi Kashmir ancam perdamaian di Asia Selatan

Perdana Menteri Pakistan pada Selasa mengatakan pemberian sertifikat domisili kepada ribuan warga negara India di wilayah Jammu dan Kashmir membahayakan perdamaian dan keamanan di Asia Selatan.

"Pertama, upaya India dalam aneksasi ilegal Jammu dan Kashmir yang diduduki India, dan sekarang upayanya untuk mengubah struktur demografis termasuk dengan menerbitkan sertifikat domisili kepada 25.000 warga negara India semuanya ilegal, melanggar resolusi DK PBB dan hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa ke-4," kata Imran Khan melalui Twitter.

Dia merujuk pada penghapusan status khusus selama beberapa dekade di kawasan yang disengketakan New Delhi pada Agustus tahun lalu dan hukum kewarganegaraan Kashmir yang kontroversial.

Sebanyak 25.000 orang telah diberikan sertifikat domisili di wilayah tersebut sejak Mei.

Warga non-lokal yang memenuhi syarat, bersama dengan mereka yang sudah tinggal di Kashmir yang dikelola India selama 15 tahun, atau belajar selama tujuh tahun dan mengikuti ujian kelas 10 atau 12 di sekolah lokal, bisa mengajukan permohonan sertifikat berdasarkan undang-undang baru.

"Saya telah menghubungi Sekretaris Jenderal PBB dan sedang menjangkau para pemimpin dunia lainnya. India harus dihentikan dari jalur yang tidak dapat diterima ini, yang lebih jauh merampas hak-hak hukum yang dijamin secara internasional bagi rakyat Kashmir dan secara serius membahayakan perdamaian dan keamanan di Asia Selatan," tambah Khan.

Langkah ini dikritik oleh banyak partai regional di India, termasuk mantan Ketua Konferensi Nasional Kashmir Farooq Abdullah.

Sengketa teritorial

Jammu dan Kashmir dikuasai oleh India dan Pakistan sebagian dan diklaim oleh keduanya secara penuh.

Sejak berpisah pada 1947, India dan Pakistan telah berperang sebanyak tiga kali - pada 1948, 1965 dan 1971 - dua di antaranya memperebutkan Kashmir.

Sejumlah kelompok Kashmir di Jammu dan Kashmir berperang melawan pasukan India untuk memperjuangkan kemerdekaan, atau untuk bersatu dengan negara tetangga Pakistan.

Menurut sejumlah organisasi hak asasi manusia, ribuan orang tewas akibat konflik di wilayah itu sejak 1989.

Pada 5 Agustus 2019, pemerintah India mencabut Pasal 370 dan ketentuan terkait lainnya dari Konstitusi, membatalkan otonomi satu-satunya negara bagian mayoritas Muslim di negara itu.

Negara bagian itu kemudian juga dibagi menjadi dua wilayah yang dikelola secara federal.

Secara bersamaan, India diduga mengunci wilayah tersebut dan menahan ribuan orang, memberlakukan pembatasan gerakan serta memberlakukan pemadaman komunikasi.